Setan, Iblis, dan Lucifer: Pemikiran Filosofis dan Psikologis di Balik Kejahatan dan Godaan

By Dikri Nalendra - Author and blogging
21 Min Read

Peringatan Pembaca Artikel Psikologi Setan (Disclaimer): Konten dalam artikel ini bertujuan untuk melakukan analisis filosofis dan psikologis terhadap arketipe ‘kejahatan’ yang direpresentasikan oleh sosok Setan, Iblis, atau Lucifer dalam berbagai peradaban. Pembahasan ini menyentuh ranah teologi dan kepercayaan yang bagi banyak orang bersifat sakral dan personal. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis berdasarkan kajian lintas disiplin. Pembaca diharapkan melakukan verifikasi lanjutan dan tidak menganggap artikel ini sebagai representasi mutlak suatu ajaran atau kebenaran tunggal. Dengan segala hormat, penulis menyatakan tidak memiliki niat untuk mengkritik, merendahkan, atau menyinggung ajaran agama, keyakinan spiritual, maupun pandangan pribadi pihak mana pun. Tulisan ini diharap dapat dibaca sebagai sebuah kajian gagasan dengan pikiran terbuka. Jika Anda merasa keberatan atau tidak nyaman dengan topik ini, kami sarankan untuk tidak melanjutkan membaca. Namun, bagi yang ingin memahami sisi simbolis dan arketipal dari tokoh yang sering disalahpahami, silakan lanjutkan dengan kesadaran penuh dan rasa hormat.

Sosok Setan, Iblis, Lucifer, atau Daemon telah menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban manusia. Hampir di seluruh kebudayaan dunia, sepanjang sejarah, kita menemukan narasi tentang entitas yang melambangkan kejahatan dan kerusakan. Figur ini sering kali dijadikan kambing hitam, alasan di balik setiap tindakan amoral yang dilakukan manusia. Seseorang berbohong, mencuri, atau bahkan membunuh, dan sering kali “bisikan gaib” dari setan disebut sebagai penyebabnya. Ia adalah simbol kejahatan itu sendiri, kekuatan yang memungkinkan semua keburukan terjadi di dunia. Namun, di balik citra mengerikan ini, tersimpan kompleksitas yang mendalam, sebuah cermin bagi sisi tergelap jiwa manusia itu sendiri.

Artikel ini akan membawa Anda opini psikologi setan, sebuah perjalanan untuk memahami siapa sebenarnya sosok ini, dari mana asalnya, dan apa tujuannya. Kita akan menelusuri akarnya dari berbagai tradisi agama, mitologi, hingga pandangan filsafat dan psikologi modern. Apakah setan hanyalah entitas eksternal yang jahat, atau ia merupakan bagian dari diri setiap manusia, sebuah potensi yang tersembunyi dalam jiwa? Dengan memahami pemberontakannya, obsesinya untuk menyesatkan, dan simbolismenya yang kaya, kita mungkin akan menemukan pemahaman yang lebih utuh tentang kebebasan, moralitas, dan hakikat kemanusiaan itu sendiri.

1. Wajah Setan di Berbagai Tradisi: Iblis, Lucifer, dan Daemon

Pada akhirnya, seperti yang diajarkan oleh Carl Jung, keutuhan tidak dapat dicapai dengan menyangkal separuh dari diri kita. Jalan ke surga sering kali harus melewati neraka di dalam diri. Dengan mengakui kerapuhan kita, menerima dualitas terang dan gelap dalam jiwa, dan memikul tanggung jawab moral atas setiap pilihan, kita dapat bergerak bukan menuju kesucian yang naif, tetapi menuju kemanusiaan yang lebih utuh. Mungkin, hanya dengan memahami kegelapan itulah, cahaya dapat benar-benar memiliki makna. (Psikologi Setan
Setan, Iblis, dan Lucifer: Pemikiran Filosofis dan Psikologis di Balik Kejahatan dan Godaan 12

Sebelum kita melangkah lebih jauh ke dalam analisis kejiwaan, penting untuk mengenal berbagai wajah dan kisah Lucifer serta padanannya dalam tradisi-tradisi besar dunia. Setiap budaya memberikan nama dan narasi yang unik, namun sering kali berpusat pada tema-tema yang sama: pemberontakan, harga diri, dan pengaruhnya terhadap manusia.

1.1. Iblis dalam Islam: Ketaatan yang Ekstrem dan Tragedi Cinta Tunggal

Dalam tradisi Islam, figur ini lebih dikenal dengan nama Iblis. Banyak tafsir menjelaskan bahwa Iblis bukan berasal dari golongan malaikat, melainkan dari golongan jin, makhluk yang diciptakan dari api. Karena kesalehannya yang luar biasa, ia diangkat derajatnya dan diberi tempat di antara para malaikat. Momen krusial terjadi ketika Tuhan menciptakan manusia pertama, Adam, dan memerintahkan semua makhluk di surga untuk bersujud kepadanya.

- Advertisement -

Semua tunduk, kecuali satu: Iblis. Penolakannya bukanlah karena ia tidak percaya pada Tuhan; ia bahkan berdialog langsung dengan-Nya. Akar penolakannya adalah kesombongan dan logika. Iblis menganggap dirinya lebih unggul karena diciptakan dari api, sementara Adam hanya dari tanah. Menurut logikanya, perintah untuk bersujud kepada makhluk yang lebih rendah tidaklah pantas.

Akibat pembangkangan ini, Tuhan mengusirnya dari rahmat-Nya. Namun, Tuhan mengabulkan permintaan Iblis untuk ditangguhkan hidupnya hingga hari kiamat. Sejak saat itu, Iblis bersumpah akan menyesatkan seluruh keturunan Adam dari jalan yang lurus. Menariknya, Tuhan tidak melarang Iblis. Sebaliknya, godaan Iblis dijadikan ujian bagi kebebasan dan keimanan manusia.

1.1.1. Perspektif Sufistik: Tragedi Sang Pencinta Tuhan

Pandangan dalam Iblis dalam Islam tidak berhenti di situ. Tradisi sufistik, melalui tokoh-tokoh seperti Al-Hallaj dan Ibnu Arabi, menawarkan perspektif yang lebih tragis. Mereka melihat Iblis bukan sebagai pembangkang biasa, melainkan sebagai pecinta Tuhan yang ekstrem. Dalam tafsir ini, Iblis menolak sujud kepada Adam karena memegang teguh prinsip tauhid secara absolut; ia hanya mau bersujud kepada Tuhan semata. Cintanya yang tunggal kepada Tuhan membuatnya “melawan” perintah Tuhan sendiri. Di sini, Iblis menjadi simbol pecinta yang tersesat—cintanya benar, namun ekspresinya keliru, terkutuk bukan karena benci, melainkan karena kesetiaan yang buta.

1.1.2. Was-was: Iblis dalam Psikologi Spiritual

Dalam pengalaman psikologis umat Islam, Iblis lebih dirasakan sebagai “was-was,” sumber bisikan batin yang menanamkan keraguan, godaan, dan memalingkan manusia dari kebaikan. Ia bukanlah sekadar narasi teologis, melainkan bagian dari psikologi spiritual yang tinggal di dalam diri manusia, membisikkan keinginan-keinginan tersembunyi di dalam kesunyian jiwa.

1.2. Kisah Lucifer: Dari Bintang Fajar Hingga Raja Neraka

Dalam tradisi Kristen, narasi yang paling populer adalah tentang Lucifer, malaikat agung yang jatuh. Kisahnya diabadikan secara epik dalam Paradise Lost karya John Milton. Setelah memimpin perang besar melawan surga dan kalah, Lucifer dan para pengikutnya terlempar ke neraka. Ia jatuh selama sembilan hari dan mendarat di danau api, terbaring dalam penderitaan. Namun, alih-alih menyesal, Lucifer justru mengobarkan semangatnya. Kepada tangan kanannya, ia mengucapkan kalimat yang ikonik: “Lebih baik memerintah di neraka daripada melayani di surga.” Dengan sumpah itu, ia mengubah neraka menjadi pusat kekuasaannya untuk terus melawan tirani surga dan merusak ciptaan baru Tuhan: manusia.

- Advertisement -

1.2.1. Etimologi Lucifer: Sang Pembawa Cahaya

Ironisnya, nama Lucifer awalnya tidak merujuk pada iblis. Dalam bahasa Latin, “Lucifer” berarti “pembawa cahaya” (Lux: cahaya, Fere: membawa). Dalam teks-teks klasik, Lucifer adalah sebutan untuk Planet Venus, sang Bintang Fajar yang bersinar terang sesaat sebelum matahari terbit, lalu lenyap.

Kaitan nama ini dengan kejatuhan setan berasal dari penafsiran Kitab Yesaya 14:12 dalam Alkitab terjemahan Latin (Vulgata), yang berbunyi, “Bagaimana engkau jatuh dari langit, hai Lucifer, putra Fajar?” Padahal, dalam teks aslinya berbahasa Ibrani, nama yang digunakan adalah “Helel bin Syahr” (bintang fajar, anak pagi), dan konteksnya adalah sindiran puitis terhadap Raja Babel yang sombong dan ingin menyamai Tuhan. Namun, tafsir Kristen kemudian mengadopsi ayat ini sebagai kisah alegoris tentang malaikat tertinggi dan paling bercahaya yang diusir dari surga karena kesombongannya ingin menyamai Tuhan. Nama Lucifer pun melekat padanya, menjadi wajah puitis dari keangkuhan kosmis.

1.2.2. Paradoks Cahaya

Sebuah paradoks teologis yang menarik muncul dalam Kitab Wahyu, di mana Yesus Kristus sendiri juga disebut sebagai “bintang fajar yang bersinar terang.” Ini menciptakan sebuah dualitas di mana Lucifer dan Kristus sama-sama diasosiasikan dengan “bintang fajar.” Cahaya, dengan demikian, tidak lagi netral. Ia bisa menyelamatkan, tetapi juga bisa menipu. Manusia tidak hanya diuji oleh kegelapan, tetapi juga oleh cahaya palsu yang menyamar sebagai kebenaran.

- Advertisement -

1.3. Gema Pemberontakan dalam Mitologi Yunani-Romawi

Tema pemberontakan demi “cahaya” juga ditemukan dalam mitologi Yunani melalui sosok Prometheus. Ia bukanlah iblis, melainkan pahlawan yang mencuri api (simbol pengetahuan) dari para dewa di Olympus dan memberikannya kepada manusia. Sebagai hukuman, Zeus merantainya di gunung, di mana seekor elang setiap hari memakan hatinya yang tumbuh kembali setiap malam. Meskipun seorang pahlawan, Prometheus sangat sesuai dengan arketipe “pemberontak suci” yang menentang tatanan langit demi pencerahan manusia, sebuah paralel dengan simbolisme iblis sebagai pembawa pengetahuan terlarang.

Selain Prometheus, ada juga figur-figur lain yang citranya kemudian diadopsi ke dalam gambaran setan. Faun dan satir, makhluk setengah manusia setengah kambing, adalah pengikut Dewa Dionisus (dewa anggur, pesta pora, dan kegilaan), yang sering dikaitkan dengan kenikmatan duniawi dan hasrat liar. Dewa Pan, dewa alam liar bertanduk kambing, diasosiasikan dengan kesuburan, musik, dan kekacauan alam. Bahkan, kata “panik” berasal dari nama Pan, yang dipercaya dapat menyebabkan ketakutan misterius dan tiba-tiba di tempat-tempat sunyi.

2. Perjanjian dengan Iblis: Analisis “Faustian Bargain”

Salah satu motif paling universal yang terkait dengan figur iblis adalah perjanjian untuk menukar jiwa dengan imbalan duniawi. Konsep ini dikenal luas sebagai Faustian Bargain atau Perjanjian Faustian. Narasi ini dipopulerkan oleh legenda Jerman tentang Johann Georg Faust, seorang alkemis dan astrolog yang konon membuat perjanjian dengan iblis (dalam cerita disebut Mefisto) untuk mendapatkan kekuatan gaib. Sebagai gantinya, ia harus menyerahkan jiwanya setelah periode waktu tertentu. Dalam versi-versi awal, Faust tidak pernah diselamatkan karena ia lebih memilih pengetahuan duniawi dan keuntungan materi daripada kehidupan spiritual.

2.1. Psikologi Godaan Universal

Tema Faustian Bargain adalah representasi dari godaan universal yang dihadapi manusia. Perjanjian ini sering kali digambarkan terjadi di persimpangan jalan, sebuah tempat simbolis yang merepresentasikan titik pilihan antara dua dunia: fisik dan spiritual. Manusia yang mendambakan kekayaan, cinta, kekuasaan, atau pengetahuan terlarang harus membayar harga tertinggi: jiwa mereka.

Secara psikologis, ini adalah metafora tentang bagaimana penolakan terhadap nilai-nilai luhur atau spiritual membuka celah bagi “kejahatan.” Iblis tidak datang sebagai musuh yang menyeramkan, tetapi sebagai “sahabat” yang membisikkan pembenaran yang masuk akal: “Lakukan saja yang membuatmu bahagia. Engkau adalah Tuhan atas dirimu sendiri.” Inilah bentuk satanisme yang tersembunyi, di mana kejahatan menyamar sebagai kebebasan, dan kesombongan—akar dari segala dosa—dibangkitkan melalui logika yang menggoda.

3. Kejahatan dalam Keseharian: Perspektif Psikologi Modern

Analisis tentang figur setan tidak lengkap tanpa melihatnya melalui kacamata psikologi modern. Konsep-konsep seperti psikologi setan tidak lagi terbatas pada teologi, tetapi telah menjadi subjek penelitian ilmiah yang mencoba memahami bagaimana manusia biasa bisa melakukan kejahatan luar biasa.

3.1. Lucifer Effect: Ketika Orang Baik Berbuat Jahat

Pada musim panas 1971, psikolog Philip Zimbardo melakukan Eksperimen Penjara Stanford yang mengguncang dunia. Mahasiswa biasa secara acak dibagi menjadi dua kelompok: sipir dan tahanan, dalam sebuah penjara simulasi. Apa yang terjadi selanjutnya melampaui dugaan. Para mahasiswa yang berperan sebagai sipir dengan cepat menjadi kasar, sadis, dan dehumanis. Sementara itu, para tahanan menjadi tunduk, pasif, dan mengalami tekanan psikologis berat. Eksperimen yang direncanakan selama dua minggu harus dihentikan hanya dalam enam hari karena kekejaman yang tumbuh dari dalam telah di luar kendali.

3.1.1. Kekuatan Situasi dan Sistem

Dari pengalaman inilah lahir konsep Lucifer Effect. Gagasan ini menyatakan bahwa manusia biasa dapat berubah menjadi pelaku kejahatan luar biasa bukan karena watak bawaan yang jahat, melainkan karena pengaruh kuat dari situasi, sistem, dan peran sosial. Kejahatan lahir ketika sistem memberikan izin diam-diam untuk kekerasan, ketika tanggung jawab pribadi dibubarkan dalam kelompok, dan ketika manusia tidak lagi memandang sesamanya sebagai manusia.

Zimbardo memilih nama “Lucifer” karena ia melambangkan malaikat terang yang jatuh, bukan karena ia jahat sejak awal, tetapi karena kesombongan dan rasa cukup diri. Para sipir dalam eksperimennya tidak merasa diri mereka jahat; mereka merasa hanya “melakukan tugas.” Inilah yang membuat kejahatan menjadi sangat berbahaya: ketika ia dilakukan bukan dengan kebencian, tetapi atas nama tanggung jawab, aturan, atau bahkan “kebaikan.”

3.2. Intelektualisme Luciferian: Kecerdasan Tanpa Nurani

Bentuk godaan modern lainnya dianalisis oleh pemikir seperti Jordan Peterson, yang memperkenalkan konsep Intelektualisme Luciferian. Ini merujuk pada kecerdasan yang tajam namun terlepas dari landasan etis, spiritual, atau nilai-nilai kemanusiaan. Peterson menggambarkan iblis sebagai simbol dari rasio murni yang membenci keterbatasan manusia dan ingin melampaui takdir tanpa memikul tanggung jawab.

3.2.1. Akal sebagai Senjata Kejatuhan

Menurut pandangan ini, masalahnya bukan pada pengetahuan itu sendiri, tetapi pada orientasi moral di baliknya. Pengetahuan seharusnya membuat kita rendah hati, tetapi ketika akal hanya menjadi alat untuk membenarkan kehendak ego, ia menjadi senjata kejatuhan. Ini adalah bentuk modern dari “memakan buah pengetahuan” tanpa kesiapan spiritual untuk menanggung konsekuensinya.

Peterson melihat akar dari totalitarianisme abad ke-20, seperti komunisme Stalin dan nazisme Hitler, dalam Intelektualisme Luciferian ini. Ideologi-ideologi ini lahir dari keyakinan bahwa manusia, melalui sistem rasional yang sempurna, dapat menciptakan surga di dunia tanpa Tuhan. Ketika tidak ada lagi landasan nilai transenden yang bisa menahan ego manusia, rasionalisme yang dingin dapat dengan mudah berubah menjadi kekejaman massal. Ini adalah cerminan dari Lucifer dalam Paradise Lost, yang dengan egonya yang besar dan keyakinan pada intelektualismenya sendiri, merasa bisa mengalahkan surga.

4. Dialog Batin: Carl Jung, Bayangan, dan Dualisme Kehidupan

Psikolog Swiss, Carl Jung, memberikan salah satu kontribusi paling mendalam untuk memahami psikologi setan sebagai fenomena batin. Baginya, mitos-mitos kuno bukanlah cerita usang, melainkan cerminan dari arketipe—pola universal—yang hidup dalam ketidaksadaran kolektif manusia.

4.1. Problem of Evil dan Perlunya Dualisme Baik dan Jahat

Salah satu pertanyaan filosofis tertua adalah Problem of Evil: Jika Tuhan Maha Baik dan Maha Kuasa, mengapa kejahatan ada? Banyak pemikir, dari Agustinus hingga Jung, menjawab bahwa kejahatan perlu ada sebagai kontras. Sebagaimana cahaya tidak dapat dikenali tanpa kegelapan, kesucian tidak dapat dipahami tanpa keberdosaan. Dalam kerangka ini, setan berfungsi sebagai simbol dari kemungkinan-kemungkinan tersebut, menciptakan sebuah dualisme baik dan jahat yang fundamental bagi pengalaman manusia.

Dualisme ini tecermin dalam banyak simbol budaya. Domba digambarkan sebagai pengikut yang setia, sementara kambing sebagai simbol ketidaktaatan. Bahkan, ritual kuno “kambing hitam” (scapegoating), di mana seekor kambing dilepaskan ke padang gurun untuk membawa dosa masyarakat, adalah asal-usul dari proses psikologis di mana kita menyalahkan orang lain secara tidak adil.

Secara etimologis, kata “iblis” (devil) berasal dari bahasa Yunani diabolos, yang berarti “yang memecah belah” atau “merobek.” Lawan katanya adalah symbolos (simbol), yang berarti “menyatukan” atau “mengintegrasikan.” Iblis menyebarkan perpecahan dalam komunitas, keluarga, dan bahkan dalam diri individu, sesuai dengan pepatah “pecah belah dan kuasai.” Sebaliknya, kekuatan kebaikan menyatukan, sesuai dengan semboyan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.”

4.2. Carl Jung dan Bayangan: Mengakui Kegelapan di Dalam Diri

Kontribusi utama Carl Jung adalah gagasannya bahwa setiap individu memiliki sisi gelap dalam kepribadiannya, yang disebut The Shadow (bayangan). “Bayangan” ini terdiri dari semua aspek diri yang kita tekan, sangkal, dan sembunyikan karena dianggap tidak dapat diterima oleh norma sosial atau oleh ego kita sendiri—seperti amarah, iri hati, nafsu, dan keserakahan.

4.2.1. Kekuatan Tersembunyi dari Bayangan

Menurut Jung, bayangan ini tidaklah lenyap. Ia tetap hidup dalam ketidaksadaran dan menyimpan energi yang sangat besar. Jika diabaikan, bayangan ini bisa muncul dalam bentuk patologis: ledakan emosi tak terkendali, kecanduan, atau tindakan merusak diri. Namun, jika dihadapi dan diintegrasikan secara sadar, bayangan justru menyimpan vitalitas, kreativitas, dan kedalaman yang luar biasa. Seperti pepatah yang dikutip, “Tak ada pohon yang bisa tumbuh ke surga kecuali akarnya menjulur ke neraka.”

4.2.2. Bahaya Proyeksi dan Kambing Hitam

Bahaya terbesar muncul ketika kita terlalu menganggap diri kita baik dan menyangkal sisi gelap kita. Jung menyebut ini “proyeksi,” di mana kita secara tidak sadar memindahkan bayangan kita ke orang lain atau kelompok lain, menjadikan mereka “kambing hitam.” Dalam proses ini, kita menjadi buta terhadap kejahatan dalam diri kita sendiri dan justru bisa dikuasai olehnya.

Dalam pandangan Jung, iblis atau Antikristus adalah arketipe dari bayangan kolektif ini. Ketika spiritualitas hanya berfokus pada kebaikan mutlak dan membuang sisi gelap, maka sisi yang tertekan itu akan kembali dengan cara yang lebih mengerikan dan tidak terduga. Oleh karena itu, iblis menjadi bagian penting dari drama ilahi; tanpanya, kebebasan sejati dan pertumbuhan kesadaran tidak akan mungkin terjadi.

5. Menuju Keutuhan: Perjalanan Turun ke Dunia Bawah

Setan, Iblis, dan Lucifer: Pemikiran Filosofis dan Psikologis di Balik Kejahatan dan Godaan 9
Setan, Iblis, dan Lucifer: Pemikiran Filosofis dan Psikologis di Balik Kejahatan dan Godaan 13

Jung percaya bahwa jalan menuju keutuhan diri (individuasi) bukanlah dengan menghindari kegelapan, tetapi dengan berani menghadapinya. Mitos-mitos di seluruh dunia menceritakan arketipe perjalanan pahlawan turun ke dunia bawah (neraka) sebagai syarat untuk transformasi.

  • Kristus Turun ke Neraka: Dalam tradisi Kristen, setelah penyaliban, Kristus turun ke neraka (Harrowing of Hell) untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang terhilang. Bagi Jung, ini adalah simbol keharusan untuk menghadapi kegelapan batin sebelum mencapai pencerahan.
  • Heracles dan Cerberus: Salah satu dari dua belas tugas Heracles adalah turun ke Hades untuk menangkap Cerberus, anjing penjaga dunia orang mati. Ia harus menghadapi simbol ketakutan terbesar ini dengan kekuatan jiwanya, bukan dengan senjata, untuk kembali sebagai pahlawan yang utuh.
  • Inanna Turun ke Kur: Dalam mitologi Mesopotamia, dewi Inanna turun ke dunia bawah yang dikuasai oleh saudari gelapnya. Di setiap gerbang, ia harus menanggalkan satu atributnya (simbol ego) hingga tiba dalam keadaan telanjang, lalu mati, dan akhirnya dibangkitkan kembali dengan transformasi sejati.

Kisah-kisah ini, termasuk versi Goethe dari Faustian Bargain, menunjukkan bahwa iblis atau kegelapan sering kali berfungsi sebagai katalis. Faust diselamatkan bukan karena ia suci, tetapi karena ia tidak pernah berhenti berjuang dan mencari, bahkan di tengah kesesatannya. Godaan iblis menjadi medan uji yang membentuk jiwa, membakarnya hingga yang tersisa hanyalah inti yang lebih utuh.

6. Kesimpulan: Merangkul Paradoks, Menemukan Cahaya dalam Kegelapan

Dari penelusuran panjang ini, kita melihat bahwa figur setan jauh lebih kompleks daripada sekadar simbol kejahatan. Ia adalah cermin bagi potensi tergelap dalam diri manusia: kesombongan yang lahir dari akal, pemberontakan atas nama kebebasan, dan ambisi yang mengenakan jubah keilahian. Psikologi setan mengajarkan kita bahwa pertarungan terbesar bukanlah melawan entitas eksternal, melainkan sebuah perjalanan batin untuk mengenali dan berdamai dengan bayangan kita sendiri.

Tantangan sejati bagi manusia modern bukanlah sekadar menolak kegelapan, tetapi waspada terhadap “cahaya yang palsu”—ideologi yang menjanjikan surga tetapi menciptakan neraka, kebanggaan yang berpura-pura sebagai cinta, dan intelektualisme yang lupa akan kerendahan hati. Konsep Lucifer Effect mengingatkan kita bahwa situasi dan sistem dapat mengubah orang baik menjadi pelaku kejahatan, sementara Intelektualisme Luciferian menunjukkan bahaya kecerdasan tanpa nurani.

Pada akhirnya, seperti yang diajarkan oleh Carl Jung, keutuhan tidak dapat dicapai dengan menyangkal separuh dari diri kita. Jalan ke surga sering kali harus melewati neraka di dalam diri. Dengan mengakui kerapuhan kita, menerima dualitas terang dan gelap dalam jiwa, dan memikul tanggung jawab moral atas setiap pilihan, kita dapat bergerak bukan menuju kesucian yang naif, tetapi menuju kemanusiaan yang lebih utuh. Mungkin, hanya dengan memahami kegelapan itulah, cahaya dapat benar-benar memiliki makna.

Kumpulan Topik

Bagikan Artikel Ini
Author and blogging
Follow:
Hello, I'm Dikri Nalendra, the writer behind Psikologiku. This blog is my personal space to learn and share. Every piece you read here is born from a hobby and a sincere desire to understand myself and others more deeply. Thank you for stopping by and learning together with me.
Tinggalkan Penilaian