Cognitive Dissonance: Mengapa Kita Tidak Suka Merasa Salah?

By Dikri Nalendra - Author and blogging
7 Min Read

Pernahkah kamu merasa tidak nyaman saat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan atau nilai yang kamu pegang? Misalnya, kamu tahu merokok itu berbahaya, tapi tetap melakukannya dan malah mencari alasan untuk membenarkannya. Nah, inilah yang disebut sebagai cognitive dissonance atau disonansi kognitif.

Cognitive Dissonance: Mengapa Kita Tidak Suka Merasa Salah?
Hak cipta freepik.com/penulis/prostooleh

Fenomena psikologis ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bahkan tanpa kita sadari. Lalu, apa sebenarnya cognitive dissonance, dampaknya terhadap kehidupan, serta bagaimana cara mengatasinya? Yuk, kita bahas lebih dalam!


Apa Itu Cognitive Dissonance?

Cognitive dissonance adalah ketidaknyamanan mental yang muncul ketika seseorang memiliki dua keyakinan, nilai, atau sikap yang bertentangan satu sama lain. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957.

Menurut Festinger, ketika seseorang mengalami disonansi kognitif, mereka akan berusaha untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut dengan berbagai cara, seperti:

- Advertisement -
  1. Mengubah Keyakinan – Menyesuaikan pemikiran agar sesuai dengan tindakan.
  2. Mengubah Perilaku – Menghentikan tindakan yang bertentangan dengan keyakinan.
  3. Mencari Justifikasi – Menciptakan alasan atau pembenaran agar tindakan terasa masuk akal.

Misalnya, seseorang yang percaya bahwa makanan cepat saji tidak sehat tetapi tetap mengonsumsinya mungkin akan berkata, “Sesekali nggak apa-apa, toh aku juga olahraga.” Ini adalah contoh upaya mencari pembenaran agar tidak merasa bersalah.


Dampak Cognitive Dissonance dalam Kehidupan

Cognitive dissonance dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan, mulai dari cara kita mengambil keputusan hingga bagaimana kita memandang diri sendiri. Berikut beberapa dampaknya:

  1. Menimbulkan Stres dan Ketidaknyamanan
    Rasa tidak nyaman akibat disonansi kognitif bisa membuat seseorang mengalami stres dan kecemasan. Semakin besar perbedaan antara keyakinan dan tindakan, semakin besar pula ketidaknyamanan yang dirasakan.

  2. Mendorong Perubahan Perilaku
    Kadang, cognitive dissonance dapat mendorong seseorang untuk berubah ke arah yang lebih positif. Misalnya, seseorang yang merasa bersalah karena merokok mungkin akhirnya memutuskan untuk berhenti demi kesehatannya.

  3. Dapat Membuat Orang Bersikap Defensif
    Tidak semua orang mau mengakui bahwa mereka salah. Beberapa orang justru mencari cara untuk mempertahankan keyakinannya, bahkan jika itu bertentangan dengan fakta. Contohnya, ada orang yang tetap percaya pada teori konspirasi meskipun sudah ada bukti ilmiah yang menunjukkan sebaliknya.

  4. Mempengaruhi Hubungan Sosial
    Dalam hubungan sosial, cognitive dissonance bisa menyebabkan konflik, baik dengan diri sendiri maupun orang lain. Misalnya, seseorang yang memiliki prinsip kejujuran tapi ketahuan berbohong mungkin akan merasa bersalah dan berusaha membela diri dengan berbagai alasan.


Risiko Cognitive Dissonance Jika Tidak Dikelola dengan Baik

Jika dibiarkan tanpa solusi, cognitive dissonance bisa menimbulkan dampak negatif, seperti:

  1. Pengambilan Keputusan yang Buruk
    Orang yang mengalami disonansi kognitif sering kali mencari cara untuk membenarkan keputusan mereka, meskipun keputusan tersebut buruk. Contohnya, seseorang yang sudah menghabiskan banyak uang untuk investasi yang merugikan mungkin akan tetap bertahan karena tidak mau mengakui kesalahannya.

  2. Penolakan terhadap Fakta
    Beberapa orang lebih memilih menyangkal kenyataan daripada menghadapi perasaan tidak nyaman akibat disonansi kognitif. Ini sering terjadi dalam dunia politik, kesehatan, dan kepercayaan sosial.

  3. Kehilangan Kepercayaan Diri
    Jika seseorang terus-menerus merasa bersalah atau bingung dengan keyakinannya sendiri, lama-lama ia bisa kehilangan kepercayaan diri.

  4. Konflik Internal yang Berkepanjangan
    Ketidakseimbangan antara tindakan dan keyakinan bisa menyebabkan konflik batin yang sulit diatasi, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kesejahteraan mental seseorang.


Contoh Cognitive Dissonance dalam Kehidupan Sehari-hari

Agar lebih jelas, berikut beberapa contoh cognitive dissonance yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Diet vs. Makan Junk Food
    Kamu tahu bahwa makan junk food itu tidak sehat, tetapi kamu tetap membelinya karena rasanya enak. Lalu, kamu membela diri dengan mengatakan, “Aku sudah makan salad kemarin, jadi nggak apa-apa makan burger hari ini.”

  2. Merokok
    Seorang perokok sadar bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan, tetapi tetap melakukannya. Untuk mengurangi ketidaknyamanannya, ia mungkin berkata, “Kakekku merokok sampai tua dan tetap sehat.”

  3. Belanja Barang Mahal yang Tidak Perlu
    Kamu membeli ponsel terbaru meskipun ponsel lama masih bagus. Setelah itu, kamu membenarkan keputusanmu dengan berkata, “Aku butuh ini untuk pekerjaan, padahal sebenarnya cuma tergoda fitur barunya.”

  4. Menyontek di Ujian
    Seorang siswa percaya bahwa menyontek itu salah, tetapi tetap melakukannya karena takut mendapat nilai jelek. Setelahnya, ia membenarkan tindakannya dengan alasan, “Soalnya terlalu sulit, dan aku hanya melihat sedikit.”

  5. Membantu Orang yang Tidak Kita Suka
    Kamu tidak suka dengan seseorang, tetapi tetap membantunya. Setelah itu, kamu berpikir, “Mungkin dia tidak seburuk itu,” sebagai cara untuk merasionalisasi tindakanmu.


Bagaimana Cara Mengatasi Cognitive Dissonance?

Jika kamu merasa mengalami cognitive dissonance, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasinya:

- Advertisement -
  1. Sadari dan Akui
    Langkah pertama adalah menyadari bahwa kamu mengalami disonansi kognitif. Dengan menyadari perasaan tidak nyaman ini, kamu bisa mulai mencari solusi yang tepat.

  2. Evaluasi Keyakinan dan Tindakan
    Coba tanyakan pada diri sendiri, apakah tindakan yang kamu lakukan benar-benar sesuai dengan nilai dan keyakinanmu? Jika tidak, apa yang bisa diubah?

  3. Cari Informasi yang Lebih Akurat
    Kadang, kita berpegang pada keyakinan lama hanya karena kurang informasi. Mencari tahu lebih banyak tentang suatu hal bisa membantumu membuat keputusan yang lebih baik.

  4. Berani Mengubah Sikap atau Perilaku
    Jika tindakanmu tidak sesuai dengan keyakinanmu, pertimbangkan untuk mengubah perilaku tersebut agar lebih selaras dengan nilai-nilai yang kamu pegang.

  5. Kurangi Justifikasi Berlebihan
    Jangan terlalu sering mencari alasan untuk membenarkan sesuatu yang sebenarnya kamu tahu salah. Lebih baik hadapi kenyataan dan buat perubahan yang lebih positif.


Kesimpulan

Cognitive dissonance adalah fenomena psikologis yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita menghadapi situasi di mana tindakan dan keyakinan kita bertentangan, kita akan merasakan ketidaknyamanan yang mendorong kita untuk mencari solusi.

Meskipun bisa membawa dampak negatif seperti stres dan pengambilan keputusan yang buruk, cognitive dissonance juga bisa menjadi pemicu perubahan positif jika dikelola dengan baik.

Kuncinya adalah menyadari, mengevaluasi, dan berani mengubah sikap atau tindakan agar lebih selaras dengan nilai-nilai yang kita pegang. Dengan begitu, kita bisa hidup lebih jujur pada diri sendiri dan merasa lebih damai.

- Advertisement -

Jadi, lain kali kalau kamu merasa ada sesuatu yang “nggak sreg” di hati, coba cek, siapa tahu kamu sedang mengalami cognitive dissonance!

Kumpulan Topik

Bagikan Artikel Ini
Author and blogging
Follow:
Hello, I'm Dikri Nalendra, the writer behind Psikologiku. This blog is my personal space to learn and share. Every piece you read here is born from a hobby and a sincere desire to understand myself and others more deeply. Thank you for stopping by and learning together with me.
Tinggalkan Penilaian