Kenali 25 Logical Fallacy Ini Agar Tidak Mudah Dibohongi & Dimanipulasi

By Dikri Nalendra - Author and blogging
12 Min Read

Anda pasti pernah merasakannya. Saat berdebat, menyimak diskusi politik, atau bahkan melihat iklan, ada argumen yang terdengar meyakinkan, namun terasa janggal. Seolah logis, padahal sebenarnya menyesatkan. Kemungkinan besar, Anda baru saja berhadapan dengan Logical Fallacy atau sesat pikir.

Memahami logical fallacy akan membuat Anda lebih susah dibohongi dan dimanipulasi. Istilah seperti strawman, ad hominem, atau slippery slope bukan lagi jargon asing, melainkan senjata debat yang sering disalahgunakan. Seseorang mungkin terlihat pintar saat berargumen, tapi jika Anda mengerti seluk-beluk sesat pikir, Anda akan tahu kapan mereka sebenarnya hanya ‘ngeles’.

Apa Itu Logical Fallacy?

Logical fallacy adalah kesalahan dalam penalaran atau argumen yang membuatnya tidak valid, meskipun sekilas tampak logis. Sesat pikir ini sering digunakan—baik sengaja maupun tidak—dalam percakapan sehari-hari, debat politik, iklan, hingga media sosial. Bahayanya, kita bisa tertipu atau termanipulasi untuk menyetujui sesuatu yang tidak memiliki dasar logika yang kuat.

Contoh sederhana: “Kamu harus percaya padaku, soalnya aku lebih tua darimu.” Ini adalah sesat pikir Appeal to Authority, di mana argumen didasarkan pada posisi atau otoritas, bukan pada bukti nyata.

- Advertisement -

Mari kita bedah 25 jenis logical fallacy yang paling sering kita temui agar kita bisa berpikir lebih jernih dan kritis.


25 Jenis Logical Fallacy yang Wajib Anda Ketahui


  1. Ad Hominem


    Alias: Menyerang pribadinya, bukan argumennya.


    Ini adalah sesat pikir yang paling umum. Ad Hominem terjadi ketika seseorang mengabaikan substansi argumen dan malah menyerang karakter, latar belakang, atau atribut pribadi lawannya.


    A: “Menurut saya, kebijakan subsidi ini penting untuk membantu rakyat kecil.”
    B: “Ah, kamu kan bukan ekonom. Tidak usah sok tahu soal kebijakan negara.”


    Logikanya cacat karena kebenaran sebuah argumen tidak bergantung pada siapa yang menyampaikannya.



  2. Strawman Fallacy


    Alias: Menyerang versi argumen yang sudah dipelintir.


    Sesat pikir ini bekerja dengan cara menyederhanakan, melebih-lebihkan, atau memelintir argumen lawan menjadi versi yang lebih lemah (manusia jerami), lalu menyerang versi palsu tersebut.


    A: “Pemerintah harus mempertimbangkan pajak gula pada minuman ringan untuk mengatasi obesitas.”
    B: “Jadi, kamu ingin pemerintah mengontrol semua yang kita makan dan minum? Itu pelanggaran kebebasan pribadi!”


    Si B menyerang ide “pemerintah mengontrol total”, padahal Si A hanya mengusulkan pajak gula.



  3. Appeal to Ignorance (Argumentum ad Ignorantiam)


    Alias: Karena belum terbukti salah, berarti benar (atau sebaliknya).


    Terjadi ketika seseorang mengklaim sesuatu itu benar hanya karena belum ada bukti yang menyanggahnya, atau sebaliknya, mengklaim sesuatu itu salah karena belum ada bukti yang membenarkannya.


    “Belum ada yang bisa membuktikan hantu itu tidak ada, jadi artinya hantu itu nyata.”


    Ketiadaan bukti bukanlah bukti ketiadaan (atau keberadaan).



  4. False Dilemma / False Dichotomy


    Alias: Cuma ada dua pilihan, hitam atau putih.


    Sesat pikir yang menyajikan situasi seolah-olah hanya ada dua pilihan mutlak, padahal kenyataannya ada banyak opsi lain.


    “Kalau kamu tidak mendukung kebijakan ini, berarti kamu tidak cinta negara.”


    Padahal, bisa saja seseorang cinta negara namun memiliki cara pandang yang berbeda terhadap sebuah kebijakan.



  5. Slippery Slope


    Alias: Efek domino yang dilebih-lebihkan.


    Mengasumsikan bahwa satu tindakan kecil akan secara tak terhindarkan memicu serangkaian peristiwa negatif yang ekstrem, tanpa bukti yang kuat.


    “Kalau kita izinkan siswa mewarnai rambut, nanti mereka jadi tidak disiplin, lalu tidak hormat pada guru, dan akhirnya seluruh generasi akan rusak.”


    Logikanya melompat terlalu jauh dari sebab ke akibat yang sangat ekstrem.



  6. Circular Reasoning (Petitio Principii)


    Alias: Argumen yang berputar-putar.


    Terjadi ketika kesimpulan dari sebuah argumen sudah termasuk dalam premisnya. Argumen ini tidak memberikan bukti baru, hanya mengulang-ulang pernyataannya.


    “Buku ini pasti bagus, karena isinya sangat berkualitas. Isinya berkualitas karena buku ini adalah buku yang bagus.”



  7. Hasty Generalization


    Alias: Terlalu cepat mengambil kesimpulan.


    Membuat kesimpulan umum berdasarkan sampel yang sangat kecil atau tidak representatif.


    “Saya pernah sekali ditipu oleh oknum ojek online. Semua driver ojek online itu pasti tukang tipu.”



  8. Red Herring


    Alias: Mengalihkan perhatian dari topik utama.


    Memperkenalkan topik yang tidak relevan untuk mengalihkan pembicaraan dari argumen yang sedang dibahas.


    A: “Kenapa laporan dana bantuan sosial belum juga transparan?”
    B: “Anda tahu? Kita harus bangga, karena negara kita punya warisan budaya yang luar biasa.”



  9. Appeal to Authority (Argumentum ad Verecundiam)


    Alias: Percaya karena yang bilang orang terkenal/berkuasa.


    Menganggap sebuah klaim benar hanya karena disampaikan oleh figur otoritas, tanpa memeriksa apakah figur tersebut ahli di bidangnya atau apakah argumennya didukung bukti.


    “Suplemen ini pasti bagus, soalnya artis X yang merekomendasikannya.” (Padahal artis X bukan ahli gizi atau dokter).



  10. Bandwagon Fallacy (Appeal to Popularity)


    Alias: Ikut-ikutan orang banyak.


    Menganggap sesuatu itu benar, baik, atau patut dilakukan hanya karena banyak orang melakukannya.


    “Investasi koin ini pasti untung, lihat saja semua teman-temanku dan para influencer sudah ikut.”


    Popularitas bukanlah jaminan kebenaran atau keamanan.



  11. Post Hoc Ergo Propter Hoc


    Alias: Terjadi setelahnya, berarti disebabkan olehnya.


    Mengasumsikan bahwa karena B terjadi setelah A, maka A adalah penyebab B. Padahal korelasi waktu tidak sama dengan hubungan sebab-akibat.


    “Sejak saya memakai jimat ini, bisnis saya lancar. Jimat inilah penyebabnya.”



  12. Appeal to Emotion


    Alias: Memanipulasi perasaan, bukan logika.


    Menggunakan manipulasi emosional (rasa kasihan, takut, marah, bangga) untuk memenangkan argumen, bukan dengan penalaran logis.


    “Jangan kritik pimpinan kita. Kasihan, beliau sudah bekerja keras banting tulang, bahkan sering tidur di kantor.”



  13. False Analogy


    Alias: Membandingkan dua hal yang tidak sebanding.


    Membuat perbandingan (analogi) antara dua hal yang kelihatannya mirip tetapi sebenarnya memiliki perbedaan fundamental yang membuat analogi tersebut tidak valid.


    “Karyawan itu seperti paku. Mereka harus dipukul kepalanya agar mau bekerja.” (Menyamakan motivasi manusia dengan benda mati).



  14. Tu Quoque


    Alias: “Kamu juga begitu!”


    Menghindari kritik dengan cara membalikkannya kepada si pengkritik. Sesat pikir ini tidak menjawab kritik, hanya menunjuk bahwa si pengkritik juga tidak sempurna.


    A: “Kamu tidak boleh merokok, itu merusak kesehatan.”
    B: “Kamu juga dulu sering makan junk food, sama-sama tidak sehat kan?”



  15. Burden of Proof Fallacy


    Alias: Melempar beban pembuktian.


    Terjadi ketika seseorang membuat klaim, lalu meminta pihak lain untuk membuktikan bahwa klaimnya salah, alih-alih memberikan bukti untuk klaimnya sendiri.


    “Saya yakin naga tak terlihat ada di garasi saya. Kalau tidak percaya, coba buktikan kalau naga itu tidak ada.”


    Beban pembuktian ada pada pihak yang membuat klaim.



  16. No True Scotsman


    Alias: Mengubah definisi agar argumen tetap benar.


    Melindungi generalisasi dari contoh penyangkal dengan cara mengubah definisi kelompok secara sembarangan.


    A: “Semua orang Bandung itu ramah.”
    B: “Kemarin saya bertemu orang Bandung yang sangat kasar.”
    A: “Ah, kalau begitu dia bukan orang Bandung sejati.”



  17. Genetic Fallacy


    Alias: Menilai sesuatu dari asalnya.


    Menolak atau menerima suatu ide berdasarkan asal-usulnya, bukan berdasarkan isi atau kebenarannya.


    “Jangan percaya berita dari media itu, media itu kan milik partai oposisi.”



  18. Composition Fallacy


    Alias: Apa yang benar untuk bagian, pasti benar untuk keseluruhan.


    Mengasumsikan bahwa jika setiap bagian dari sesuatu memiliki atribut tertentu, maka keseluruhannya juga pasti memiliki atribut tersebut.


    “Setiap pemain di tim ini adalah pemain bintang. Maka, tim ini pasti tak terkalahkan.” (Padahal chemistry tim bisa jadi buruk).



  19. Division Fallacy


    Alias: Apa yang benar untuk keseluruhan, pasti benar untuk bagiannya.


    Kebalikan dari Composition. Mengasumsikan bahwa jika keseluruhan memiliki atribut tertentu, maka setiap bagiannya juga pasti memilikinya.


    “Tim itu sangat sukses tahun lalu. Berarti semua pemainnya pasti hebat.” (Padahal mungkin ada beberapa pemain yang performanya biasa saja).



  20. Appeal to Nature


    Alias: Yang alami pasti baik, yang buatan pasti buruk.


    Menganggap sesuatu lebih baik atau benar hanya karena “alami”, dan sesuatu yang “buatan manusia” otomatis lebih buruk.


    “Jangan pakai obat kimia, lebih baik minum ramuan herbal ini. Karena dari alam, pasti lebih aman.” (Padahal jamur beracun dan sianida juga alami).



  21. Loaded Question


    Alias: Pertanyaan jebakan.


    Sebuah pertanyaan yang mengandung asumsi yang kontroversial atau belum terbukti, sehingga lawan bicara akan terlihat salah apa pun jawabannya.


    “Apakah kamu sudah berhenti menyontek saat ujian?” (Jika dijawab ‘ya’, berarti dulu pernah menyontek. Jika dijawab ‘tidak’, berarti masih menyontek).



  22. Middle Ground Fallacy


    Alias: Jalan tengah adalah yang paling benar.


    Mengasumsikan bahwa kebenaran pasti terletak di tengah-tengah antara dua posisi ekstrem, padahal bisa jadi salah satu posisi ekstrem itu yang benar.


    A: “Vaksin itu aman dan efektif.”
    B: “Vaksin itu konspirasi berbahaya.”
    C: “Berarti kebenarannya ada di tengah. Vaksin ada sedikit manfaatnya, tapi juga sedikit berbahaya.” (Ini mengabaikan bukti ilmiah yang mendukung A).



  23. Anecdotal Fallacy


    Alias: Menggunakan pengalaman pribadi untuk membantah data.


    Menggunakan pengalaman atau cerita pribadi (anekdot) sebagai bukti, dan mengabaikan data statistik atau bukti ilmiah yang lebih kuat.


    “Kata data, merokok menyebabkan kanker. Ah, tapi kakekku merokok seumur hidup dan sehat sampai usia 90 tahun.”



  24. Moral Equivalence


    Alias: Menyamakan kesalahan kecil dengan kejahatan besar.


    Membandingkan dua isu yang secara moral tidak sebanding seolah-olah keduanya setara.


    “Dia mencuri permen di warung, sama saja jahatnya dengan koruptor yang mencuri uang negara miliaran rupiah.”



  25. Appeal to Tradition


    Alias: Karena dari dulu begini, maka ini yang benar.


    Menganggap sesuatu itu benar atau lebih baik hanya karena sudah menjadi tradisi atau telah dilakukan sejak lama.


    “Kita tidak perlu mengubah kurikulum sekolah. Sistem ini sudah dipakai sejak zaman dulu dan terbukti berhasil.” (Padahal zaman dan kebutuhannya sudah berubah).



Kesimpulan: Berpikir Kritis adalah Kuncinya

Mengenali 25 logical fallacy ini adalah langkah pertama untuk membangun pertahanan diri dari misinformasi dan manipulasi. Dengan terbiasa mengidentifikasi sesat pikir, kita dapat mengevaluasi argumen dengan lebih objektif, baik yang datang dari orang lain maupun dari pikiran kita sendiri.

Berpikir kritis bukanlah tentang menjadi sinis atau menyerang setiap argumen, melainkan tentang mencari kebenaran yang didasarkan pada logika dan bukti yang kuat.

Sekarang giliran Anda. Mana dari sesat pikir di atas yang paling sering Anda temui dalam kehidupan sehari-hari? Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar!

Kumpulan Topik

Bagikan Artikel Ini
Author and blogging
Follow:
Hello, I'm Dikri Nalendra, the writer behind Psikologiku. This blog is my personal space to learn and share. Every piece you read here is born from a hobby and a sincere desire to understand myself and others more deeply. Thank you for stopping by and learning together with me.
Tinggalkan Penilaian