Standar Ganda Kesetaraan Gender: Mengapa Istilah ‘Pria Independen’ Tidak Pernah Terdengar?

By Dikri Nalendra - Author and blogging
5 Min Read

Di tengah maraknya diskusi kesetaraan gender, istilah “wanita independen” kerap digaungkan dengan nada pujian dan kekaguman. Gambaran yang terlintas adalah sosok perempuan yang bekerja keras, mandiri secara finansial, percaya diri, dan mampu menentukan arah hidupnya sendiri. Istilah ini seringkali diromantisasi di media sosial dan percakapan sehari-hari sebagai sebuah pencapaian yang membanggakan dan menginspirasi.

Namun, di balik perayaan ini, muncul sebuah pertanyaan mendasar: mengapa kita hampir tidak pernah mendengar istilah “pria independen”? Jika masyarakat benar-benar bergerak menuju kesetaraan, mengapa kemandirian pada wanita dianggap istimewa, sementara pada pria hal itu dipandang sebagai kewajaran? Fenomena ini secara tidak sadar menunjukkan adanya standar ganda baru dalam perjalanan kita menuju keadilan sosial.

Akar Sejarah yang Membentuk Ekspektasi

Untuk memahami fenomena ini, penting untuk melihat ke belakang pada akar sejarah peran gender. Dalam masyarakat tradisional yang bersifat patriarkal, peran dibagi secara tegas: pria adalah pencari nafkah dan wanita adalah pengurus rumah tangga. Dalam struktur ini, seorang pria dewasa yang bekerja untuk menafkahi keluarganya dianggap sebagai hal yang wajar, bahkan sebuah kewajiban.

Sebaliknya, wanita yang memilih berkarir atau hidup mandiri secara ekonomi dianggap sebagai penyimpangan dari kebiasaan, sebuah langkah yang “revolusioner”. Perjuangan feminisme, terutama gelombang kedua yang menuntut kesetaraan ekonomi dan sosial, berhasil membuka pintu bagi perempuan untuk memasuki dunia kerja. Karena kemandirian wanita ini lahir dari perjuangan panjang melawan stigma, pencapaian tersebut diberi makna dan penghargaan yang besar. Di sisi lain, pria yang bekerja tidak dianggap sebagai pencapaian simbolis karena peran itu telah lama dianggap normal.

Romantisasi Media dan Konsekuensi Standar Ganda

Budaya populer, seperti film, buku, dan iklan, turut memperkuat romantisasi ini dengan sering menampilkan wanita independen sebagai figur yang inspiratif. Tokoh seperti Wonder Woman atau Nyai Ontosoroh dalam “Bumi Manusia” dirayakan bukan hanya karena kemampuan mereka, tetapi karena keberaniannya menentang norma sosial. Sementara itu, pria yang mandiri jarang menjadi subjek pujian serupa karena peran mereka sudah sesuai dengan ekspektasi masyarakat.

Namun, perayaan ini memiliki sisi negatif yang menciptakan standar ganda yang tidak adil:

  • Seorang wanita yang memilih menjadi ibu rumah tangga sering kali berisiko dianggap tidak cukup mandiri atau bahkan dituduh melanggengkan patriarki.
  • Di sisi lain, pria yang memilih peran non-tradisional, misalnya menjadi ayah rumah tangga, kerap menghadapi stigma sosial karena dianggap “tidak cukup maskulin”.

Analisis dari Sudut Pandang Sosiologis

Fenomena ini dapat dijelaskan melalui beberapa teori sosiologis. Dalam perspektif dramaturgi Erving Goffman, kehidupan sosial diibaratkan panggung teater tempat individu memainkan peran sesuai ekspektasi sosial. Wanita independen mendapat “tepuk tangan” karena dianggap memainkan peran baru yang revolusioner dan melawan arus. Sebaliknya, pria yang mandiri tetap berada dalam peran lama yang dianggap sebagai status quo, sehingga tidak menarik perhatian khusus.

Selain itu, konsep “kapital feminin” juga relevan, di mana perempuan sering kali dihargai berdasarkan modal simbolis yang mereka miliki. Dalam konteks modern, status “wanita independen” dipandang sebagai bentuk baru dari modal simbolis yang menandakan keberhasilan.

Romantisasi wanita independen adalah cerminan bagaimana masyarakat beradaptasi dengan perubahan norma gender. Meskipun ia memberikan penghargaan yang pantas atas perjuangan perempuan, ia juga berisiko menciptakan standar baru dan ekspektasi yang tidak realistis bagi pria dan wanita.

Kesetaraan gender yang sejati bukanlah tentang merayakan satu kelompok di atas yang lain. Tujuannya adalah menciptakan sebuah masyarakat di mana semua individu, terlepas dari gendernya, memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri tanpa dihakimi atau diberi stigma. Sebagaimana wanita yang bekerja layak dihormati, pria yang menjalankan perannya—baik tradisional maupun tidak—juga layak mendapatkan penghargaan yang setara.

Pada akhirnya, perjuangan ini bukanlah perlombaan antara pria dan wanita, melainkan upaya kolektif untuk membangun dunia di mana setiap individu dihargai atas siapa diri mereka, bukan peran apa yang mereka wakili.

Bagikan Artikel Ini
Author and blogging
Follow:
Hello, I'm Dikri Nalendra, the writer behind Psikologiku. This blog is my personal space to learn and share. Every piece you read here is born from a hobby and a sincere desire to understand myself and others more deeply. Thank you for stopping by and learning together with me.
1 Review

Tinggalkan Penilaian

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *